Akuntabilitas Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan manajemen pendidikan yang memenuhi prinsip akuntabilitas, tampaknya masih melewati jalan panjang, dan berliku-liku. Walaupun tuntutan akan manajemen pendidikan yang akuntabel terus disuarakan banyak pihak, belum semua aparatus pendidikan menyambutnya. Ini sangat berkaitan dengan persoalan kemauan, kemampuan, persepsi, dan kepercayaan. Karena itu makalah ini ditulis untuk melanjutkan proses mengurai benang kusut yang hampir putus itu. Uraian disandarkan pada pengertian akuntabilitas pendidikan, tujuan akuntabilitas pendidikan, manfaat akuntabilitas pendidikan, pelaksana akuntabilitas pendidikan, pelaksanaan akuntabilitas pendidikan, langkah-langkah akuntabilitas pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pendidikan , dan upaya peningkatan akuntabilitas pendidikan.
Nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan. Tetapi hanya dengan kemauan dan visi perubahan niscaya prinsip akuntabilitas dapat membumi di sekolah.

B. Rumusan Masalah
Oleh karena pembahasan mengenai akuntabilitas pendidikan sangatlah luas maka penulis membatasi pembahasan makalah ini pada:
1. Akuntabilitas Pendidikan
2. Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
3. Transparansi Pengelolaan Pendidikan di Indonesia

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan, juga untuk menjelaskan mengenai konsep akuntabilitas pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akuntabilitas Pendidikan
McAshan (1983) menyebutkan bahwa akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan John Elliot (1981:15-16) merinci makna yang terkandung di dalam akuntabilitas, yaitu : (1) cocok atau sesuai (fitting In) dengan peranan yang di harapkan, (2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang keputusan dan tindakan yang di ambilnya, (3) performan yang cocok dan dan meminta pertimbangan/penjelasan kepada orang lain.
Akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. Dengan demikian, maka akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.
Scorvis D. Anderson dalam bukunya Accountability What, Who, and Whither? Dalam Made Pidarta (1988), menyebutkan lima bagian yang merupakan manifestasi dari akuntabilitas, yaitu : (1) mengontrak performan. Performan di tentukan kriterianya dan disepakati bersama. Artinya pertugas pelaksana tidak boleh menyimpang dari kriteria tersebut. (2) memiliki kunci pembentuk arah dalam bentuk biaya dan usaha performan yang dikontrak/ditentukan, diharapkan tercapai tujuan secara efektif sehingga pengontrak merasa puas. (3) unsur pemeriksaan yang dilakukan oleh orang-orang bebas dan tidak terlibat dalam kegiatan internal, seperti orang tua siswa, masyarakat, atau pemerintah. (4) memberikan jaminan, dalam bidang pendidikan mutu dapat terjamin dengan menggunakan kriteria atau ukuran tertentu. (5) pemberian insentif, diberikan sebagai penghargaan dan dapat di ukur menurut kriteria tertentu, dengan maksud untuk meningkatkan motivasi dan sistem kompetisi dalam meningkatkan performan.
Akuntabilitas dalam bidang pendidikan, seperti yang di katalkan oleh H.H. Mc Ashaan, yaitu : (1) program dan manajemen personalia yang mengarah kepada tujuan, (2) penekanan manajemen yang efektif dan efisien, dan (3) pengembangan program, pengembangan personalia, peningkatan hubungan dengan masyarakat, dan kegiatan-kegiatan manajemen.

B. Tujuan Akuntabilitas Pendidikan
Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.

C. Manfaat Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan, antara lain:
1. Tujuan/performan yang ingin dicapai
2. Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
3. Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
4. Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
5. Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
6. Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti.

D. Pelaksana Akuntabilitas Pendidikan
Made Pidarta (1988) menyebutkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru, administrator, orang tua siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.
Di dalam perencanaan participatory , yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi, akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut.
1. Manajer/ administrator/ ketua lembaga, sesuai dengan fungsinya sebagai manajer.
2. Ketua perencana, yang dianggap paling bertanggungjawab atas keberhasilan perencanaan. Ketua perencana adalah dekan, rektor, kepala sekolah, atau pimpinan unit kerja lainnya.
3. Para anggota perencana, mereka dituntut memiliki akuntabilitas karena mereka bekerja mewujudkan konsep perencanaan dan mengendalikan implementasinya di lapangan.
4. Konsultan, para ahli perencana yang menjadi konsultan.
5. Para pemberi data, harus memiliki performan yang kuat mengingat tugasnya memberikan dan menginformasikan data yang selalu siap dan akurat.

Bagan: Jenjang petugas perencana pendidikan menurut
akuntabilitas dalam Made Pidarta, 1988.
E. Pelaksanaan Akuntabilitas Pendidikan
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan desain ulang sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Misalnya di Indonesia hari ini telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.
Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat, sekolah dan orang tua siswa, sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah, antara kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.
Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Hal ini karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi eksternal.
Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak akuntabel.
Rita Headington berpendapat ada tiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan. Ketiganya menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri, misalnya akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan pendidikan.

F. Langkah-Langkah Akuntabilitas Pendidikan
Made Pidarta (1988) merumuskan langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menentukan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan program yang dikerjakan, dalam perencanaan disebut misi atau tujuan perencanaan.
2. Program dioperasionalkan sehingga menimbulkan tujuan-tujuan yang spesifik.
3. Menggambarkan kondisi tempat bekerja.
4. Menentukan otoritas atau kewenangan petugas pendidikan.
5. Menentukan pelaksana yang akan mengerjakan program/ tugas. Ia penanggungjawab program, menurut konsep akuntabilitas ia adalah orang yang dikontrak.
6. Membuat kriteria performan pelaksana yang dikontrak secara jelas, sebab hakekatnya yang dikontrak adalah performan ini.
7. Menentukan pengukur yang bersifat bebas, yaitu orang-orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan program tersebut.
8. Pengukuran dilakukan sesuai dengan syarat pengukuran umum yang berlaku, yaitu secara insidental, berkala dan
9. Hasil pengukuran dilaporkan kepada orang yang berkaitan.

G. Faktor yang Mempengaruhi Akuntabilitas Pendidikan
Faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan dan tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya yang mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas.

H. Upaya Peningkatan Akuntabilitas Pendidikan
Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas:
1. Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban.
2. Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3. Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/ stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4. Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
5. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/ stakeholders diakhir tahun.
6. Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
7. Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
8. Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Jika sekolah mengetahui sumber dayanya, maka dapat lebih mudah digerakkan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada.
Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2. Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
3. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaimana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.

metode sosiodrama

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan pelajaran,baik secara individual atau kelompok.
Oleh karenanya kita sebagai calon guru harus memahami berbagai metode yang dapat untuk menciptakan proses belajar mengajar yang menarik.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat kita kupas pada makalah ini antara lain:
1. Bagaimana konsep metode sosio drama itu?
2. Bagaimana langkah-langkah penyajiannya?
3. Materi apa saja yang cocok dengan metode sosio drama?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan metode sosio drama?
5. Bagaimana RPP yang menggunakan metode sosio drama?

C. Tujuan
Adapun tujuan di buatnya makalah ini adalah agar kita memahami dan bisa menerapkan metode sosio drama ketika proses belajar mengajar.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP SOSIO DRAMA/BERMAIN PERAN
1. Pengertian sosio drama/Bermain peran.
Metode sosiodrama dan bermain peranan merupakan dua buah metode mengajar yang mengandung pengertian yang dapat dikatakan sama dan karenanya dalam pelaksanaan sering disilih gantikan. Istilah sosiodrama berasal dari kata sosio = sosial dan drama. Kata drama adalah suatu kejadian atau peristiwa dalarn kehidupan manusia yang mengandung konflik kejiwaan, pergolakan, clash atau benturan antara dua orang atau lebih. Sedangkan bermain peranan berarti memegang fungsi sebagai orang yang dimainkannya, misalnya berperan sebagai Lurah, penjudi, nenek tua renta dan sebagainya.
Sosiodrama dimaksudkan adalah suatu cara mengajar dengan jalan mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan sosial
Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Kedua istilah ini (sosiodrama dan bermain peranan), kadang-kadang juga disebut metode dramatisasi. Hanya bedanya kedua metode tersebut tidak disiapkan terlebih dahulu naskahnya.
Kedua metode tersebut biasanya disingkat menjadi metode “sosiodrama” yang merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada siswa tentang masalah-masalah hubungan sosial, untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Masalah hubungan sosial tersebut didramatisasikan oleh siswa dibawah pimpinan guru, Melalui metode ini guru ingin mengajarkan cara-cara bertingkah laku dalam hubungan antara sesama manusia.

2. Penggunaan sosio drama/ bermain peran dalam pembelajaran.
Peranan sosiodrama dapat digunakan apabila:
1. Pelajaran dimaksudkan untuk melatih dan menanamkan pengertian dan perasaan seseorang.
2. Pelajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial dan rasa tanggung jawab dalam memikul amanah yang telah dipercayakan.
3. Jika mengharapkan partisipasi kolektif dalam mengambil suatu keputusan
4. Apabila dimaksudkan untuk mendapatkan ketrampilan tertentu sehingga diharapkan siswa mendapatkan bekal pengalaman yang berharga, setelah mereka terjun dalam masyarakat kelak
5. Dapat menghilangkan malu, dimana bagi siswa yang tadinya mempunyai sifat malu dan takut dalam berhadapan dengan sesamanya dan masyarakat dapat berangsur-angsur hilang, menjadi terbiasa dan terbuka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
6. Untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki oleh siswa sehingga amat berguna bagi kehidupannya dan masa depannya kelak, terutama yag berbakat bermain drama, lakon film dan sebagainya.
Bila metode ini dikendalikan dengan cekatan oleh guru, banyak manfaat yang dapat dipetik, sebagai metode cara ini :
1. Dapat mempertinggi perhatian siswa melalui adegan-adegan, hal mana tidak selalu terjadi dalam metode ceramah atau diskusi.
2. Siswa tidak saja mengerti persoalan sosial psikologis, tetapi mereka juga ikut merasakan perasaan dan pikiran orang lain bila berhubungan dengan sesama manusia, seperti halnya penonton film atau sandiwara, yang ikut hanyut dalam suasana film seperti, ikut menangis pada adegan sedih, rasa marah, emosi, gembira dan lain sebagainya.
3. Siswa dapat menempatkan diri pada tempat orang lain dan memperdalam pengertian mereka tentang orang lain.
Sebaliknya betapapun besar nilai metode ini ditangan yang kurang bijaksana akan menjadi nihil. Pada umumnya karena guru sendiri tidak paham akan tujuan yang dicapai, atau guru memilih metode ini walaupun sebenarnya kurang tepat untuk tujuan tertentu. Dapat terjadi guru tidak menyadari pentingnya langkah langkah dalam metode ini.
Saran-saran yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan metode ini:
1. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan melalui metode ini. Dan tujuan tersebut diupayakan tidak terlalu sulit/berbelit-belit, akan tetapi jelas dan mudah dilaksanakan
2. Melatar belakang cerita sosiodrama dan bermain peranan tersbeut. Misalnya bagaimana guru dapat menjelaskan latar belakang kehidupan sahabat Aku Bakar sebelum menceritakan kisah sahabat Abu Bakar masuk Islam. Hal ini agar materi pelajaran dapat dipahami secara gamblang dan mendalam oleh siswa/anak didik
3. Guru menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan sosiodrama dan bermain peranan melalui peranan yang harus siswa lakukan/mainkan
4. Menetapkan siapa-siapa diantara siswa yang pantas memainkan/melakonkan jalannya suatu cerita. Dalam hal ini termasuk peranan penonton
5. Guru dapat menghentikan jalannya permainan apabila telah sampai titik klimaks. Hal ini dimaksudkan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara seksama
6. Sebaiknya diadakan latihan-latihan secara matang, kemudian diadakan uji coba terlebih dahulu, sebelum sosiodrama dipentaskan dalam bentuk yang sebenarnya.

B. Langkah-langkah penyajian metode sosio drama.
Dalam rangka menyiapkan suatu situasi bermain peran di dalam kelas, guru mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Persiapan dan instruksi
a. Guru memiliki situasi/ dilema bermain peran
Situasi-situasi masalah yang dipilih harus menjadi ”sosiodrama” yang menitikberatkan pada jenis peran, masalah dari situasi pamiliar, serta pentingnya bagi siswa. Keseluruhan situasi harus dijelaskan, yang meliputi deskripsi tentang keadaan pristiwa, individu-individu, yang dilibatkan, dan posisi-posisi dasar yang diambil oleh pelaku khusus. Para pemeran khusus tidak didasarkan kepada individu nyata di dalam kelas, hindari tipe yang sama pada waktu merancang pemeran supaya tidak terjadi gangguan hak pribadi secara psikologis dan merasa aman.
b. Sebelum pelaksanaan bermain peran, siswa harus mengikuti latihan pemanasan, latihan-latihan ini diikuti oleh semua siswa, baik sebagai partisipasi aktif maupun sebagai para pengamat aktif. Latihan-latihan ini dirancang untuk menyiapkan siswa, membantu mereka mengembangkan imajinasinya dan untuk membentuk kekompakan kelompok dan interaksi. Misalnya latihan pantonim.
c. Guru memberikan intruksi khusus kepada peserta bermain peran setelah memberikan penjelasan pendahuluan kepada keseluruhan kelas. Penjelasan tersebut meliputi latar belakang dan karakter-karakter dasar melalui tulisan atau penjelasan lisan. Para peserta (pemeran) dipilih secara suka rela. Siswa diberi kebebasan untuk menggariskan suatu peran. Apabila siswa telah pernah mengamati suatu situasi dalam kehidupan nyata maka situasi tersebut dapat dijadikan sebagai situasi bermain peran. Peserta bersangkutan diberi kesempatan untuk menunjukkan tindakan/ perbuatan ulang pengalaman. Dalam brifing, kepada pemeran diberikan deskripsi secara rinci tentang kepribadian, perasaan dan keyakinan dari para karakter. Hal ini diperlukan guna membangun masa lampau dari karakter. Dengan demikian dapat ddirancang ruangan dan peralatan yang perlu digunakan dalam bermain peran tersebut.
d. Guru memberitahukan peran-peran yang akan dimainkan serta memberikan intruksi-intruksi yang bertalian dengan masing-masing peran kepada para audience. Para audience diupayakan mengambil bagian secara aktif dalam bermain peran itu. Untuk itu kelas dibagi dua kelompok, yakni kelompok pengamat dan kelompok spekulator, masing-masing melaksanakan fungsinya. Kelompok I bertindak sebagai pengamat yang bertugas mengamati: (1) perasaan individu karakter, (2) karakter-karakter khusus yang diinginkan dalam situasi, dan (3) mengapa karakter merespon cara yang mereka lakukan. Kelompok II bertindak sebagai spekulator yang berupaya menanggapi bermain peran itu dari tujuan dan analisis pendapat. Tugas kelompok ini mengamati garis besar rangkaian tindakan yang telah dilakukan oleh karakter-karakter khusus.
2. Tindakan dramatik dan diskusi
a. Para aktor terus melakukan perannya sepanjang situasi bermain peran, sedangkan para audience berpartisipasi dalam penugasan awal kepada pemeran
b. Bermain peran harus berhenti pada titik-titik penting atau apabila terdapat tingkah laku tertentu yang menuntut dihentikannya permainan tersebut.
c. Keseluruhan kelas selanjutnya berpartisipasi dalam diskusi yang terpusat pada situasi bermain peran. Masing-masing kelompok audience diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil observasi dan reaksi-reaksinya. Para pemeran juga dilibatkan dalam diskusi tersebut. Diskusi dibimbing oleh guru dengan maksud berkembang pemahaman tentang pelaksanaan bermain peran serta bermakna langsung bagi hidup siswa, yang pada gilirannya menumbuhkan pemahaman baru yang berguna untuk mengamati dan merespon situasi lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Evaluasi bermain peran
a. Siswa memberikan keterangan, baik secara tertulis maupun dalam kegiatan diskusi tentang keberhasilan dan hasil-hasil yang dicapai dalam bermain peran. Siswa diperkenankan memberikan komentar evaluatif tentang bermain peran yang telah dilaksanakan, misalnya tentang makna bermain peran bagi mereka, cara-cara yang telah dilakukan selama bermain peran, dan cara-cara meningkatkan efektifitas bermain peran selanjutnya.
b. Guru menilai efektifitas dan keberhasilan bermain peran. Dalam melakukan evaluasi ini, guru dapat menggunakan komentar evaluatif dari siswa, catatan-catatan yang dibuat oleh guru selama selama berlangsungnya bermain peran. Berdasarkan evalusi tersebut, selanjutnya guru dapat menentukan tingkat perkembangan pribadi sosial, dan akademik para siswanya.
c. Guru membuat bermain peran yang telah dilaksanakan dan telah dinilai tersebut dalam sebuah jurnal sekolah (kalau ada) atau pada buku catatan guru. Hal ini penting untuk pelaksanaan bermain peran selanjutnya.
C. Materi yang cocok dengan metode sosio drama.
Dalam pendidikan agama metode sosiodrama dan bermain peranan ini efektif dalam menyajikan pelajaran akhlak, sejarah Islam dan topik-topik lainnya. Dalam pelajaran sejarah, misalnya guru ingin menggambarkan kisah sahabat khalifah Abu Bakar, ketika beliau masuk Islam. Kisah tersebut tentu amat menarik jika disajikan melalui metode sosiodrma dan bermain peranan. Sebab siswa disamping mengetahui proses jalannya khalifah Abu Bakar masuk Islam, juga dapat menghayati ajaran dan hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut.
Demikian pula halnya pada pelajaran akhlak. Misalnya bagaimana sosok akhlaqul karimah (seorang yang berakhlak mulia) dan anak yang saleh ketika berhadapan dengan orang tuanya maupun anak durhaka kepada orang tuanya, misalnya sebagaimana cerita “Si Malin Kundang” yang tersohor itu. Dan lain-lainnya yang bersifat sosiodrama dan bermain peranan.
Untuk penghayatan sifat-sifat tertentu dapat diterapkan metode Sosiodrama dan untuk materi cerita dapat diterapkan metode Roll Playing.

D. Kebaikan dan Kelemahan.
Metode sosio drama selain mempunyai kelebihan juga mempunyai beberapa kelemahan,antara lain:
1. Kelebihan metode sosio drama.
a. Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu secara kreatif serta melatih keberanian.
b. Menarik perhatian anak sehingga suasana kelas menjadi hidup.
c. Menghayati suatu peristiwa sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatan sendiri.
d. Melatih anak untuk menyusun pikirannya secara teratur
e. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya
f. Bahasa lisan murid dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami
2. Kekurangan metode sosio drama
a. Sebagian anak yang tidak ikut bermain drama menjadi kurang aktif
b. Memerlukan waktu cukup banyak
c. Memerlukan persiapan yang teliti dan matang
d. Kadang-kadang anak tidak mau mendramatisasikan karena malu
e. Tidak dapat mengambil kesimpulan apabila pelaksanaan dramatisasi gagal
f. Kelas sering terganggu oleh suara para pemain dan penonton yang terkadang bertepuk tangan dan prilaku lainnya.

E. RPP
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam (Aqidah Akhlak)
Kelas/Semester : XI/I
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (1 x pertemuan)

A. Standar Kompetensi : Membiasakan prilaku terpupji
B. Kompetensi Dasar : Menampilkan contoh-contoh prilaku taubat dan raja’
C. Indikator :
1. Siswa mampu menunjukkan contoh-contoh prilaku taubat
2. Siswa mampu menunjukkan contoh-contoh prilaku raja’
D. Materi Pembelajaran :
1. Pengertian taubat dan raja’
2. Hikma taubat dan raja’
3. Membiasakan diri taubat dan raja’
E. Langkah-langkah Pembelajaran
Kegiatan Belajar Metode Media
Kegiatan pendahuluan
a. Guru memberikan apersepsi, pretest pri-laku terpuji
b. Guru menyampaikan tujuan pembela-jaran yang akan di capai
Tanya jawab

Ceramah

Buku paket PAI dan BKS
Kegiatan inti
a. Guru menyuruh 2 siswa kedepan untuk bermain peran tentang contoh prilaku taubat dan raja’
b. Guru menyuruh siswa untuk mendis-kusikan drama yang tentang taubat dan raja’
c. Guru menjelaskan dan menyimpulkan materi contoh-contoh prilaku taubat dan raja’
d. Guru memberi kesempatan kapada siswa untuk bertanya
Sosiodrama

Diskusi

Cerama

Tanya jawab
Skrip dialog, Buku paket, LKS, buku yang relevan
Kegiatan penutup
a. Guru memberikan post test
b. Guru memberikan motivasi untuk berprilaku taubat dan raja’ dalam kehidupan sehari-hari
Tanya jawab
Ceramah

F. Sumber, Materi dan Bahan
Untuk menunjang pembelajaran, diperlukan hal-hal sebagai berikut:
– Buku paket PAI XI/I
– Lembar Kerja Siswa (LKS)
G. Penilaian
Jenis Penilaian : Performance
Kriteria penilaian :
– Keaktifan dalam diskusi kelompok
– Keaktifan dalam kelas
– Keseriusan dalam kegiatan belajar
Format penilaian
No Keaktifan dalam diskusi Keaktifan dalam kelas Keseriusan belajar

Rubrik penilaian
Tingkat Penilaian Kualifikasi Deskripsi
80 – 100
60 – 79
40 – 59
0 A
B
C
D Siswa memenuhi 3 kriteria
Siswa memenuhi 2 kriteria
Siswa memenuhi 1 kriteria
Siswa tidak ikut serta

Jenis penilaian : Project
Kriteria penilaian :
– Kesesuaian
– Orisinilitas
– Kualitas isi
– Kerapian tulisan
Format Penilaian
No Penilaian
Kesesuaian Orisinilitas Kualitas isi Kerapian tulisan

Rubrik penilaian
Tingkat Penilaian Kualifikasi Deskripsi
80 – 100
60 – 79
40 – 59
20 – 39
0 A
B
C
D
E Siswa memenuhi 4 kriteria
Siswa memenuhi 3 kriteria
Siswa memenuhi 2 kriteria
Siswa memenuhi 1 kriteria
Siswa tidak mengumpulkan tugas

LAMPIRAN 1: URAIAN MATERI

Taubat adalah kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya. Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: “Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut).”
Raja’ adalah sura hati seorang untuk mencapai sesuatu yang dicintai’ yaitu Allah SWT. Adanya pengertian tersebut berarti mengingatkan kepada seseorang bahwa dirinya hamba yang lemah dan hendaknya selalau berharap lindungan Alla dalam segala hal
Hikmah taubat antara lain:
1. Mendapat kebahagian/ pahala yang berllipat ganda
2. Mendapat kasih saying Allah karena Allah SWT sangat mencintai orang yang bertaubat
3. Menghapus semua kealahan/ dosa yang telah diperbuatnya
Hikmah raja’ antara lain:
1. Mengharapo rahmat Allah dan tidak mudah putus asa
2. Meningkatklan rasa saling menintai sesame manusia
3. Menjadikan dirinya tenang ,aman, dan tidak merasa takut kepaqda siapapun , kecuali kepada Allah SWT
Membiasakan diri bertaubat pada Allah dilakukan dengan cara menjalankan syriatnya dengan tekun dan tepat waktu serta menjaga diri sepenuhnya untuk tidak mengulangi lagi perbuatan buruk/ jahat.
Membmiasakan diri raja’ (mengharap karunia Allah) harus dilakukan setiap saat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia hidup tidak lepas dari godaan dunia baik berupa harta maupun anak, karena terkadang harta dan anak menjadi sumber fitnah. Bentuk raja’ ini berupa doa-doa positif pada Allah agar tetap menjaganya dari godaan syetan yang menyesatkan.

LAMPIRAN II: SOAL

1. Apakah yang dimaksud dengan taubat dan raja’?
2. Sebutkan syarat-syarat orang yang bertaubat?
3. Sebutkan contoh-contoh raja’ yang mempunyai sikap dinamis?

JAWAB
1. Taubat adalah memohon ampun Allah dengan benar-benar menyesali perbuatnya dan tidak akan menulangi lagi kesalahan serupa. Sedangkan raja’ adalah mengharap keridhaan Allah SWT dan rahmanya.
2. Syarat-syarat orang-orang yang bertaubat antara lain:
a. Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat
b. Meninggalkan pernuatan maksiat itu
c. Bertekad dan berjanji dengan sungguh-sungguh tudakl akan mengulangi lagi perbuatan itu.
d. Mengikutinya dengan perbuatan baik karena perbuatan baik akan menghapus keburukan.
3. Diantara contoh-contoh raja’ yang mempunyai sikap dinamis antara lain:
a. Seorang petani akan berusaha agar hasil pertaniannya meningkat
b. Seorang pelajar akan meningkatkan kegiatan belajarnya agar ilmunya bertambah

SOSIODRAMA
CONTOH-CONTOH PERILAKU TAUBAT DAN RAJA’
Deskripsi:
1. Siswa I (Rara) : Siswi yang selalu memaafkan orang lain
2. Siswa II (Intan) : Siswi yang melakukan akhlak tercela

Bel bordering menunjukkan waktu istirahat telah tiba. Semua siswa keluar dari kelas untuk menuju kantin sekolah. Dan tanpa sengaja uang Rara terjatuh dilantai.

Rara : Uangku mana ya? Kok ga’ ada… (Sambil merogoh saku dibaju seragamnya)
Intan : Eh ada uang!!! Uang siapa ya? Kuambil aja deh, dari pada ga’ ada yang ngambil.
Rara : (Mencari uang dalam tas, kemudian bertanya kepada Intan) Tan, tadi kamu
liat uangku jatuh ga’?
Intan : Nggak Ra, aku juga baru dating ke kelas. Emangnya tadi kamu taruh mana?
Rara : Tadi waktu mau kekantin udah aku masukkan saku, eh… Ternyata ga’ ada. Tapi yaudahlah ga’ apa-apa mungkin Allah sedang menguji orang yang kurang bersedekah.he…he…he… (Dengan mimik bercanda).
Dua hari kemudian, Intan kehilangan ciincin pemberian mamanya.
Intan : Aduh, mana ya cincinku?
Rara : Ada apa Tan? Kok panik gitu?
Intan : Cincin pemberian mamaku hilang, padahal itu cincin satu-satunya yang aku punya.
Rara : Oh ya Tan… tadi aku nemuin cincin bermata putih dibelakang pintu kelas. Apa ini punya kamu?
Intan : Iya Ra… makasih banyak ya. Kamu memang temenku yang paling baik.
Rara : Kan udah seharusnya kita tidak boleh mengambil hak milik orang lain.
Intan : (Kemudaian teringat kalau dia pernah mengambil uang Rara dan tidak mengembalikan uang tersebut). Ra, aku mau brekata jujur, tapi kamu jangan marah ya?
Rara : Emang ada apa Tan?
Intan : Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku yang nemuin uang kamu, tapi malah ga’ aku balikin ke kamu. Apa mau kamu memafkan kesalhanku?
Rara : Oh… tentang itu! Gak apa-apa kok, ya pastilah aku maafin, Allah aja Maha Pemaaf masa’ aku sendiri ga’ bisa jadi orang pemaaf.
Intan : (Tiba-tiba dalam hatinya bergumam, “aku tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi dan bertaubat kepada Allah). Terimakasih ya Ra, kamu memang temanku yang paling baik.
Rara : Sama-sama Tan, kita kan sama-sama makhluk Allah yang harus saling memaafkan.
Intan : (Ya Allah aku berharap semoga aku menjadi manusia yhghgfjhhvhgkukjgjhgkjang lebih baik, dan semoga Engkau mendengar semua permohonan maaf hambaMu ini. Amiin…)
Kemudian mereka berdua saling berpelukan deh…

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sosiodrama dimaksudkan adalah suatu cara mengajar dengan jalan mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan social. Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Kedua istilah ini (sosiodrama dan bermain peranan), kadang-kadang juga disebut metode dramatisasi. Hanya bedanya kedua metode tersebut tidak disiapkan terlebih dahulu naskahnya.
Bila metode ini dikendalikan dengan cekatan oleh guru, banyak manfaat yang dapat dipetik, sebagai metode cara ini :
1. Dapat mempertinggi perhatian siswa melalui adegan-adegan, hal mana tidak selalu terjadi dalam metode ceramah atau diskusi.
2. Siswa tidak saja mengerti persoalan sosial psikologis, tetapi mereka juga ikut merasakan perasaan dan pikiran orang lain bila berhubungan dengan sesama manusia, seperti halnya penonton film atau sandiwara, yang ikut hanyut dalam suasana film seperti, ikut menangis pada adegan sedih, rasa marah, emosi, gembira dan lain sebagainya.
3. Siswa dapat menempatkan diri pada tempat orang lain dan memperdalam pengertian mereka tentang orang lain.
Sebaliknya betapapun besar nilai metode ini ditangan yang kurang bijaksana akan menjadi nihil. Pada umumnya karena guru sendiri tidak paham akan tujuan yang dicapai, atau guru memilih metode ini walaupun sebenarnya kurang tepat untuk tujuan tertentu. Dapat terjadi guru tidak menyadari pentingnya langkah langkah dalam metode ini.
Dalam rangka menyiapkan suatu situasi bermain peran di dalam kelas, guru mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Persiapan dan instruksi
a. Guru memiliki situasi/ dilema bermain peran
b. Sebelum pelaksanaan bermain peran, siswa harus mengikuti latihan pemanasan, latihan-latihan ini diikuti oleh semua siswa, baik sebagai partisipasi aktif maupun sebagai para pengamat aktif.
c. Guru memberikan intruksi khusus kepada peserta bermain peran setelah memberikan penjelasan pendahuluan kepada keseluruhan kelas
d. Guru memberitahukan peran-peran yang akan dimainkan serta memberikan intruksi-intruksi yang bertalian dengan masing-masing peran kepada para audience.
2. Tindakan dramatik dan diskusi
a. Para aktor terus melakukan perannya sepanjang situasi bermain peran, sedangkan para audience berpartisipasi dalam penugasan awal kepada pemeran
b. Bermain peran harus berhenti pada titik-titik penting atau apabila terdapat tingkah laku tertentu yang menuntut dihentikannya permainan tersebut.
c. Keseluruhan kelas selanjutnya berpartisipasi dalam diskusi yang terpusat pada situasi bermain peran.
d. Evaluasi bermain peran
a. Siswa memberikan keterangan, baik secara tertulis maupun dalam kegiatan diskusi tentang keberhasilan dan hasil-hasil yang dicapai dalam bermain peran.
b. Guru menilai efektifitas dan keberhasilan bermain peran.
c. Guru membuat bermain peran yang telah dilaksanakan dan telah dinilai tersebut dalam sebuah jurnal sekolah (kalau ada) atau pada buku catatan guru. Hal ini penting untuk pelaksanaan bermain peran selanjutnya.
Dalam pendidikan agama, metode sosiodrama dan bermain peranan ini efektif dalam menyajikan pelajaran akhlak, sejarah Islam dan topik-topik lainnya.
Kelebihan dan kekurangan metode sosiodrama, antara lain:
1. Kelebihan metode sosio drama.
a. Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu secara kreatif serta melatih keberanian.
b. Menarik perhatian anak sehingga suasana kelas menjadi hidup.
c. Menghayati suatu peristiwa sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatan sendiri.
d. Melatih anak untuk menyusun pikirannya secara teratur
e. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya
f. Bahasa lisan murid dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami
2. Kekurangan metode sosio drama
a. Sebagian anak yang tidak ikut bermain drama menjadi kurang aktif
b. Memerlukan waktu cukup banyak
c. Memerlukan persiapan yang teliti dan matang
d. Kadang-kadang anak tidak mau mendramatisasikan karena malu
e. Tidak dapat mengambil kesimpulan apabila pelaksanaan dramatisasi gagal
f. Kelas sering terganggu oleh suara para pemain dan penonton yang terkadang bertepuk tangan dan prilaku lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Joko Tri Prasetya. 2005. Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Pustaka Setia.
Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
http://syaifullaheducationinformationcenter.blogspot.com/2008/11/metode-pengajaranpendidikan-agama.html.
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_b12.html

jurnal statistik pendidikan

Pengaruh Metode Mengajar dan Ragam Tes
Terhadap Hasil Belajar Matematika dengan Mengontrol Sikap Siswa
(Eksperimen pada Siswa Kelas I SMU Negeri DKI Jakarta)
Baso Intang Sappaile
Abstrak: Mengingat pentingnya matematika, maka sangat diharapkan siswa sekolah menengah untuk menguasai pelajaran matematika SMU. Karena disamping matematika sebagai sarana berpikir ilmiah yang sangat diperlukan oleh siswa, juga untuk mengembangkan kemampuan berpikir logiknya. Matematika juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan belajar siswa dalam menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu diperlukan metode mengajar berlandaskan permasalahan yang merupakan pendekatan yang sangat efektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode mengajar mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa yang tergantung pada ragam tes, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika.

Kata kunci: Metode mengajar, Ragam tes, Hasil belajar matematika siswa dan Sikap siswa terhadap matematika.

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Hasil belajar dipandang sebagai salah satu indikator pendidikan dan perlu disadari bahwa hasil belajar adalah bagian dari hasil pendidikan (Soedjadi, 1991: 10).
Matematika merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan oleh peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajarnya dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan matematika diperlukan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan menengah memberi tekanan pada penataan nalar, dasar, dan pembentukan sikap siswa serta memberi tekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika (GBPP Matematika, 1995: 1)
Mengingat pentingnya matematika, maka sangat diharapkan siswa sekolah menengah untuk menguasai pelajaran matematika SMU. Di lain pihak kenyataan menunjukkan bahwa hasil belajar matematika di sekolah menengah masih relatif rendah. Karena itu, diperlukan upaya perbaikan yang dapat meningkatkan hasil belajar matematika khususnya pada jenjang pendidikan menengah.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan urain yang telah dikemukakan di atas maka secara umum, masalah penelitian adalah bagaimana pola pengaruh Metode Mengajar, Ragam Tes dan Sikap siswa terhadap hasil belajar matematika siswa.
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh metode mengajar dan ragam tes terhadap hasil belajar matematika, setelah mengontrol sikap siswa terhadap matematika.

2. Kajian Literatur
2.1. Hasil Belajar Matematika
Matematika sebagai bahan pelajaran yang obyeknya berupa fakta, konsep, operasi, dan prinsip yang kesemuanya adalah abstrak. Hasil belajar matematika siswa sebagian besar dinilai oleh guru pada ranah kognitifnya. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Penilaiannya dilakukan dengan tes hasil belajar matematika
2.2. Metode Mengajar
2.2.1. Metode Pemecahan Masalah Matematika
Tugas atau soal pemecahan masalah matematika dapat diberikan dalam bentuk individu atau kelompok. Pemecahan masalah matematika memuat pemecahan masalah sebagai perilaku kognitif dan matematika sebagai objek yang dipelajari. Proses berpikir dalam pemecahan masalah matematika memerlukan kemampuan intelek tertentu yang akan mengorganisasi strategi yang ditempuh sesuai dengan data dan permasalahan yang dihadapi.
Cara yang baik untuk menyajikan masalah adalah dengan menggunakan kejadian yang mencengangkan yang menimbulkan misteri dan suatu keinginan untuk memecahkan masalah (Ibrahim & Nur, 2000: 33).
Polya (1956:2) mengembangkan empat langkah penting dalam strategi pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, mencari alternatif penyelesaian, melakukan perhitungan, dan memeriksa ulang hasil perhitungan.
2.2.2. Metode Konvensional
Yang dimaksud dengan pembelajaran matematika melalui konvensional adalah metode ceramah yang disertai dengan pertanyaan. Metode mengajar ini sering digunakan oleh guru pada umumnya.

2.3. Ragam Tes
Ragam Tes yang dimaksudkan dalam tulisan ini dibatasi hanya pilihan ganda biasa dan asosiasi pilihan ganda. Ragam tes pilihan ganda dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang lebih tinggi dan dapat diskor secara objektif (Safari, 1997: 64).
2.3.1. Asosiasi Pilihan Ganda
Asosiasi pilihan ganda terdiri dari pokok soal berupa kalimat pertanyaan yang belum lengkap yang diikuti alternatif jawaban yang merupakan pelengkap. Pada alternatif jawaban tersebut memuat beberapa jawaban. Dari sejumlah alternatif jawaban yang tersedia hanya ada satu jawaban yang benar dan lainnya sebagai pengecoh.
Kelebihannya. (1) Jawaban yang benar sudah pasti, (2) pemeriksaan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, dan (3) dapat mengaktifkan proses berpikir siswa.
Kekurangannya. (1) Kesempatan testi untuk menerka-nerka cukup besar, (2) bagi testi yang berkemampuan rendah merasa terlalu terbebani oleh soal, dan (3) waktu untuk mengerjakan untuk tiap soal cukup lama, sehingga memungkinkan testi mengerjakan soal hanya sebagian saja.
2.3.2. Pilihan Ganda Biasa
Pilihan ganda biasa terdiri dari pokok soal berupa kalimat pertanyaan yang belum lengkap yang diikuti alternatif jawaban yang merupakan pelengkap. Dari sejumlah alternatif jawaban yang tersedia hanya ada satu jawaban yang benar dan lainnya sebagai pengecoh. Testi ditugaskan memilih salah satu alternatif jawaban yang benar.
Kelebihannya. (1) Jawaban yang benar sudah pasti, (2) pemeriksaan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, dan (3) testi dapat mengerjakan soal sebanyak mungkin.
Kekurangannya. (1) Kesempatan testi untuk menerka-nerka cukup besar, (2) kurang mengaktifkan proses berpikir siswa, dan (3) bagi testi yang berkemampuan rendah merasa tidak terlalu terbebani oleh soal.
2.4. Sikap Siswa terhadap Matematika
Sikap siswa terhadap matematika dimaksudkan sebagai tendensi mental yang diaktualkan atau diverbalkan terhadap matematika yang didasarkan pada pengetahuan atau perasaannya terhadap matematika. Objek yang disikapi adalah matematika yang meliputi materi matematika dan manfaat matematika, baik manfaat matematika terhadap mata pelajaran lain maupun manfaat matematika pada kehidupan sehari-hari.
2.5. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Berikut beberapa hasil penelitian yang relevan dengan hasil penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2001: 175), mengungkapkan bahwa untuk siswa yang diajar dengan metode deduksi, hasil belajar matematika siswa yang diberi tes formatif bentuk pilihan ganda lebih tinggi daripada hasil belajar matematika siswa yang diberi tes formatif bentuk esai.
Penelitian yang dilakukan oleh Sofyan (2003: 184), mengungkapkan bahwa hasil belajar otomotif siswa yang diajar dengan strategi pembelajaran kooperatif lebih tinggi daripada hasil belajar motor otomotif siswa yang diajar dengan strategi konvensional.
Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2003: 201), mengungkapkan bahwa mahasiswa yang mempunyai TPA tinggi, hasil belajar ilmu gizi yang diajar dengan CBL lebih tinggi daripada hasil belajar ilmu gizi yang diajar dengan metode ceramah. Selanjutnya mahasiswa yang mempunyai TPA rendah, hasil belajar ilmu gizi yang diajar metode ceramah lebih tinggi daripada hasil belajar ilmu gizi yang diajar dengan metode CBL.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumarno, dkk (1993: 31), mengungkapkan bahwa pada umumnya siswa masih menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika dalam bentuk pemecahan masalah, terutama pada langkah strategi melaksanakan perhitungan dan memeriksa ulang hasil perhitungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Damiyanti (2004: 17), mengungkapkan bahwa skor rata-rata tes kemampuan memecahkan masalah tergolong tinggi dibandingkan nilai rata-rata skor teoretik.
Penelitian yang dilakukan oleh Putera (2004: 27), mengungkapkan bahwa hasil belajar matematika warga belajar yang diberikan evaluasi formatif, tes diagnostik dan remedial lebih tinggi dari yang diberikan evaluasi formatif dan pengajaran kembali.
Penelitian yang dilakukan oleh Arief (2004: 187), mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran etika administrasi negara bagi mahasiswa yang memiliki sikap positif, maka metode concept mapping lebih efektif digunakan dibandingkan metode ceramah. Sedangkan untuk mahasiswa yang memiliki sikap negatif, metode ceramah lebih efektif daripada metode concept mapping.
Penelitian yang dilakukan oleh Safari (1996: 77), mengungkapkan bahwa penggunaan bentuk soal pilihan ganda berpengaruh secara signifikan terhadap antarmata pelajaran yang diajarkan guru di pendidikan dasar sembilan tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Syafrudie (1996: 98), mengungkapkan bahwa sikap siswa SMK terhadap lingkungan hidup berkorelasi positif dengan penguasaan konsep lingkungan hidup.
2.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teoretik dan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu: (1) untuk siswa yang diajar melalui pemecahan masalah, hasil belajar matematika siswa yang diberi ragam tes asosiasi pilihan ganda lebih tinggi dibanding siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika, (2) untuk siswa yang diajar melalui konvensional, hasil belajar matematika siswa yang diberi ragam tes asosiasi pilihan ganda lebih rendah dibanding siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika, (3) untuk siswa yang diberi ragam tes asosiasi pilihan ganda, hasil belajar matematika siswa yang diajar melalui pemecahan masalah lebih tinggi dibanding siswa yang diajar melalui konvensional, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika, (4) untuk siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa, hasil belajar matematika siswa yang diajar melalui pemecahan masalah lebih rendah dibanding siswa yang diajar melalui konvensional, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika, dan (5) metode mengajar mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa yang tergantung pada ragam tes, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika.

3. Metodologi Penelitian
3.1. Disain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain 2×2 faktorial. Variabel respon adalah hasil belajar matematika siswa. Sedang faktor perlakuan adalah (1) metode mengajar, dan (2) ragam tes yang masing-masing mempunyai dua tingkat perlakuan.
Sebelum pelaksanaan eksperimen, terlebih dahulu dilakukan pengukuran sikap terhadap pengukuran kepada semua siswa, baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Oleh karena itu sikap siswa terhadap matematika dapat dinyatakan sebagai covariable atau covariate dalam menerapkan model linear.
Dalam eksperimen ini, satu kelas dengan pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah sebagai kelompok eksperimen dan satu kelas dengan pembelajaran matematika melalui konvensional sebagai kontrol. Baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol masing-masing diajar dan diberikan tes formatif dalam ragam tes asosiasi pilihan ganda dan ragam tes pilihan ganda biasa oleh guru mata pelajaran matematika. Sebelum guru mengajar materi matematika pada kelompok eksperimen, terlebih dahulu guru tersebut diberikan rambu-rambu serta diingatkan oleh peneliti cara dan langkah yang harus dilakukan di dalam kelas dalam hal pembelajaran matematika melaui pemecahan masalah. Sedang pada kelompok siswa dengan pembelajaran matematika melalui konvensional dimonitor oleh peneliti Materi matematika yang diajarkan adalah materi kelas I semester I dengan pertemuan sebanyak 15 kali tatap muka.
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas I SMUN 30 dan SMUN 58 DKI Jakarta yang dipilih secara purposif. Sebuah sampel kelas I dipilih secara random dari masing-masing SMU. Dari SMUN 30 terpilih kelas I-6 dan dari SMUN 58 terpilih kelas I-5. Di SMUN 30 diberi metode pemecahan masalah matematika dan di SMUN 58 diberi metode konvensional.
3.3. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di dua Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri di DKI Jakarta, yaitu SMU Negeri 30 dan SMU Negeri 58 Jakarta. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada semester satu tahun pelajaran 2003/2004, terhitung sejak 21 Juli 2003 sampai dengan 20 Desember 2003.
Pelaksanaan penelitian disesuaikan dengan jadwal mata pelajaran matematika.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah hasil belajar matematika siswa dan sikap siswa terhadap matematika. Hasil belajar matematika siswa diperoleh dengan menggunakan tes hasil belajar matematika siswa yang dilakukan pada akhir eksperimen, sedang sikap siswa terhadap matematika digunakan angket yang dilakukan sebelum eksperimen.
3.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis dengan menerapkan Model Linear Univariat yang terdiri dari (1) analisis regresi linear dengan koefisien arah heterogen (heterogeneous slopes) dan (2) analisis kovarian (homogeneous slopes).

4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Deskripsi Data
Tabel 1. Deskripsi Data
Metode Mengajar
Melalui Pemecahan Masalah Melalui Konvensional
Ragam Tes Asosiasi Pilihan Ganda n=18
Y=62,78
s=6,94 n=18
Y=47,83
s=10,29 n=36
Y=55,31
s=11,50
Pilihan Ganda Biasa n=18
Y=47,89
s=8,19 n=18
Y=53,72
s=8,98 n=36
Y=50,81
s=8,97
n=36
Y=55,33
s=10,63 n=36
Y=50,78
s=9,97 n=72
Y=53,06
s=10,49

4.2. Pengujian Hipotesis
Untuk pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan dua analisis, yaitu (1) analisis regresi linear dengan koefisien arah heterogen (heterogeneous slopes) dan (2) analisis kovarian (homogeneous slopes).
4.3. Hasil Analisis Kovarian (Homogeneous Slopes)
Model I: Y= + R M + R M + R M + X+
Model II: Y= + R M + R M + R M + X+ (Agung, 2004: 96)
Tabel 2 Hasil Estimasi Parameter dari Model I
Parameter B Std. Error th Nilai-p
Konstanta 35,163 11,856 2,966 0,004
[R=2]*[M=2] -8,563 2,810 -3,048 0,003
[R=2]*[M=1] -13,483 2,870 -4,698** 0,000
[R=1]*[M=2] -14,206 2,817 -5,043** 0,000
X 0,286 0,121 2,362 0,021

Tabel 3 Hasil Estimasi Parameter dari Model II
Parameter B Std. Error th Nilai-p
Konstanta 26,600 11,650 2,283 0,026
[R=1]*[M=1] 8,563 2,810 3,048 0,003
[R=1]*[M=2] -5,643 2,803 -2,013* 0,048
[R=2]*[M=1] -4,920 2,832 -1,737 0,087
X 0,286 0,121 2,362 0,021

Tabel 4 Test of Between-Subject Effect
Sumber
Variasi Dk JK RJK Fh F tabel
=.05 =.01
Interaksi
(IR*IM) 3 2236,63 745,54 10,55 2,74 4,09
Kovarian
(X) 1 394,41 394,41 5,58 3,98 7,03
Kekeliruan
(Dalam Sel) 67 4734,59 70,67 – – –
Total 71 7809,78 – – – –
Keterangan: RJK : Rata-rata Jumlah Kuadrat
dk : derajat kebebasan Fh : F Hitung
JK : Jumlah Kuadrat * : Sangat signifikan pada = 0,05
Berdasarkan hasil dalam Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut.
(1) Ho: g >0 ditolak, karena t =-4,698 < t = -1,996. Kesimpulan, lihat 5.1.Simpulan yang Pertama.
(2) Ho: g >0 ditolak, kareba t =-5,043 < t = -1,996. Kesimpulan, lihat 5.1.Simpulan yang Ketiga.
(3) Ho: b >0 ditolak, karena t =-2,013 < t = -1,996. Kesimpulan, lihat 5.1.Simpulan yang Kedua.
(4) Ho: b >0 diterima, karena t =1,737 > t = -1,996. Kesimpulan lihat 5.1.Simpulan yang Keempat.
(5) Ho: (RM) = 0 ditolak, karena Fh = 10,55>F = 2,74. Kesimpulan lihat 5.1.Simpulan yang Kelima.
5. Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
Pertama, untuk siswa yang diajar melalui pemecahan masalah, hasil belajar matematika siswa yang diberi ragam tes asosiasi pilihan ganda lebih tinggi dibanding siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika.
Kedua, untuk siswa yang diajar melalui konvensional, hasil belajar matematika siswa yang diberi ragam tes asosiasi pilihan ganda lebih rendah dibanding siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika.
Ketiga, untuk siswa yang diberi ragam tes asosiasi pilihan ganda, hasil belajar matematika siswa yang diajar melalui pemecahan masalah lebih tinggi dibanding siswa yang diajar melalui konvensional, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika.
Keempat, data tidak mendukung kebenaran hipotesis yang menyatakan untuk siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa, rata-rata hasil belajar matematika yang diajar melalui pemecahan masalah lebih rendah dibanding yang diajar melalui konvensional, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika. Namun secara deskriptif rata-rata simpangan hasil belajar matematika siswa yang diajar melalui pemecahan masalah lebih rendah dibanding yang diajar melalui konvensional, bagi siswa yang diberi ragam tes pilihan ganda biasa.
Kelima, Metode mengajar mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa yang tergantung pada ragam tes, setelah mengurangi pengaruh linear sikap siswa terhadap matematika.
5.2. Saran
Pertama. Dalam pembelajaran matematika pada siswa yang bersikap positif terhadap matematika, bagi guru matematika yang akan menggunakan ragam tes formatif asosiasi pilihan ganda, disarankan dalam pembelajaran matematika digunakan metode pemecahan masalah.
Kedua. Dalam pembelajaran matematika pada siswa yang bersikap positif terhadap matematika, bagi guru matematika yang akan menggunakan ragam tes formatif pilihan ganda biasa, disarankan dalam pembelajaran matematika digunakan metode konvensional.
Ketiga. Diharapkan para guru matematika untuk berlatih mangkondisikan baik ragam tes asosiasi pilihan ganda maupun ragam tes pilihan ganda biasa, sehingga setiap butir dapat berfungsi dengan baik.
Keempat. Diharapkan para guru dalam memberikan soal-soal matematika yang merupakan salah satu masalah bagi siswa, diharapkan soal-soal tersebut tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar tetapi dapat menantang bagi siswa.
Kelima. Dalam pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah, diharapkan guru membantu dan memandu siswa bagi yang mengalami kesulitan menyelesaikan matematika.

Pendidikan Pada Masa Abbasiyah

<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} p.MsoFootnoteText, li.MsoFootnoteText, div.MsoFootnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter {margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; tab-stops:center 3.0in right 6.0in; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} span.MsoFootnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url(“file:///C:/DOCUME~1/perpus03/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm”) fs; mso-footnote-continuation-separator:url(“file:///C:/DOCUME~1/perpus03/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm”) fcs; mso-endnote-separator:url(“file:///C:/DOCUME~1/perpus03/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm”) es; mso-endnote-continuation-separator:url(“file:///C:/DOCUME~1/perpus03/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm”) ecs;} @page Section1 {size:595.35pt 842.0pt; margin:1.0in 89.85pt 1.0in 89.85pt; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-page-numbers:1; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:166602071; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:502324254 -1768756780 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:.75in; mso-level-number-position:left; margin-left:.75in; text-indent:-.25in;} @list l1 {mso-list-id:470250999; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:-1609639240 -46360516 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l1:level1 {mso-level-tab-stop:.75in; mso-level-number-position:left; margin-left:.75in; text-indent:-.25in;} @list l2 {mso-list-id:1540555807; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:-504098536 231511640 67698689 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l2:level1 {mso-level-tab-stop:.5in; mso-level-number-position:left; text-indent:-.25in; mso-ascii-font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-hansi-font-family:”Times New Roman”; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;} @list l2:level2 {mso-level-number-format:bullet; mso-level-text:; mso-level-tab-stop:1.0in; mso-level-number-position:left; text-indent:-.25in; font-family:Symbol;} @list l3 {mso-list-id:2118403133; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:-1036099878 67698709 152583682 936557268 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l3:level1 {mso-level-number-format:alpha-upper; mso-level-tab-stop:.5in; mso-level-number-position:left; text-indent:-.25in;} @list l3:level2 {mso-level-tab-stop:1.0in; mso-level-number-position:left; text-indent:-.25in;} @list l3:level3 {mso-level-number-format:alpha-lower; mso-level-tab-stop:117.0pt; mso-level-number-position:left; margin-left:117.0pt; text-indent:-.25in;} ol {margin-bottom:0in;} ul {margin-bottom:0in;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pendidikan Zaman Abbasiyah

Masa keemasan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M). Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan dengan karya-karyanya. Mulai dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat sampai dengan bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu kedokteran.

Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan.[1] Hal itu dapat ditunjukkan melalui antusias mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama’, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan banyaknya perpustakaan yang dibuka, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (768-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M).[2] Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam bagian timur. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Al-Ma’mun pengganti al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[3]

Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dalam bidang pendidikan di awal kebangkitan Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:

1. Maktab/ kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.

2. Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan biasanya berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan mendatangkan ulama ahli.

Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan berdirinya perpustakaan dan akademik.

Kemajuan dalam bidang keilmuan tersebut dikarenakan oleh:

1. Keterbukaan budaya umat Islam untuk menerima unsur-unsur budaya dan peradaban dari luar, sebagai konsekuensi logis dari perluasan wilayah yang mereka lakukan.

2. Adanya penghargaan, apresiasi terhadap kegiatan dan prestasi-prestasi keilmuan.[4]

3. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.

4. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Banyak menterjemahkan karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, setelah tahun 300 H terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Perhatian masyarakat sangat tinggi di bidang sastra dan sejarah, dalam periode awal Abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa Persia. Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan memfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusif. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.

Tradisi intelektual terlihat dari kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau disponsori oleh khalifah. Hasil membaca mereka kemudian didiskusikan dan dikembangkan lagi, mereka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi. Dari sinilah memunculkan ide/ keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi. Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains, matematika, kedokteran, astronomi, dan lain-lain.

  1. Kemajuan Bidang Pengetahuan dan Teknologi

Pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan para khalifah memfokuskan pada pengembangan pengetahuan dan teknologi. Mereka menterjemahkan berbagai karya-karya baik dari bahasa Yunani, Persia, dan lain-lain. Kemajuan bidang pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai meliputi:

    1. Geometri, perhatian cendekiawan muslim terhadap geometri dibuktikan oleh karya-karya matematika. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi telah menciptakan ilmu Aljabar. Kata al-Jabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibah. Ahli geometri muslim lain abad itu ialah Kamaluddin ibn Yunus, Abdul Malik asy-Syirazi yang telah menulis sebuah risalah tentang Conics karya Apollonius dan Muhammad ibnul Husain menulis sebuah risalah tentang “Kompas yang sempurna dengan memakai semua bentuk kerucut yang dapat digambar”. Juga al-Hasan al-Marrakusy telah menulis tentang geometri dan gromonics.
    2. Trigonometri, pengantar kepada risalah astronomi dari Jabir ibnu Aflah dari Seville, ditulis oleh Islah al-Majisti pada pertengahan abad, berisi tentang teori-teori trigonometrikal. Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus menulis ringkasan ilmu astronomi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
    3. Musik, banyak risalah musikal telah ditulis oleh tokoh dari sekolah Maragha, Nasiruddin Tusi dan Qutubuddin asy-Syirazi, tetapi lebih banyak teoritikus besar pada waktu itu adalah orang-orang Persia lainnya. Safiuddin adalah salah seorang penemu skala paling sistematis yang disebut paling sempurna dari yang pernah ditemukan.[5]
    4. Geografi, al-Mas’udi ahli dalam ilmu geografi diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma’aadzin al-Jawahir.
    5. Antidote (penawar racun), ibnu Sarabi menulis sebuah risalah elemen kimia penangkal racun dalam versi Hebrew dan Latin. Penerjemahan dalam bahasa Latin (mungkin suatu adaptasi atau pembesaran) terbukti menjadi lebih populer dan lebih berpengaruh daripada karya aslinya dalam bahasa Arab. Di bidang kimia terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan sesuatu zat tertentu.
    6. Ilmu kedokteran dikenal nama al-Razi dan ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya ilmu kedokteran berada di tangan ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosuf berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah. Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa dikenal dengan nama al-Hazen. Dia terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
    7. Filsafat, tokoh yang terkenal adalah al-Farabi, ibn Sina dan ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.

C. Tokoh-tokoh/ Para ilmuwan zaman Abbasiyah

Para ilmuwan yang lahir dari peradaban abbasiyah adalah para ilmuwan yang sangat dikenal di berbagai pelosok dunia. Buku-buku karya mereka juga menjadi acuan utama bagi para ilmuwan lainnya, baik di Barat maupun di Timur.[6]

1. Bidang Astronomi: Al-Fazari, Al- Fargani (Al-Faragnus), Jabir Batany, Musa bin Syakir, dan Abu Ja’far Muhammad.

2. Bidang Kedokteran: Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Masiwaihi, Ibnu Sahal, Ali bin Abbas, Al-Razi, Ibn Rusyd, dan Al-Zahawi.

3. Bidang Optika: Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythani (al-Hazen).

4. Bidang Kimia: Jabir ibn Hayyan dan Ibn Baitar.

5. Bidang Matematika: Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, Tsabit ibn Qurrah al-Hirany, dan Musa bin Syakir.

6. Bidang Sejarah: Al-Mas’udi dan Ibn Sa’ad.

7. Bidang Filsafat: Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan Musa bin Syakir.

8. Bidang Tafsir: Ibn Jarir ath Tabary, Ibn Athiyah al-Andalusy, Abu Bakar Asam, dan Ibn Jaru al-Asady.

9. Bidang Hadis: Imam Bukhori (karyanya adalah kitab al-Jami’ al-Shahih yang merupakan kumpulan hadis)[7], Imam Muslim, Ibn Majah, Baihaqi, dan At-Tirmizi.

10. Bidang Kalam: Al-Asy’ari, Imam Ghozali, dan Washil bin Atha.

11. Bidang Geografi: Syarif Idrisy dan Al-Mas’udi.

12. Bidang Tasawuf: Shabuddin Sahrawardi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghozali (karya terpentingnya adalah Ihya ‘Ulum al-Din.[8]

13. Munculnya empat madzhab: Al-Syafi’i (peletak dasar ilmu ushul fiqih dan pencetus teori ijma’ (konsensus) yang menjadi salah satu sumber syari’ah)[9], Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi.

BAB III

KESIMPULAN

1. Pada masa Abbasiyah bidang pendidikan mengalami masa keemasan. Popularitasnya mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Rasyid dan putranya, khalifah al-Makmun.Kemajuan tersebut ditentukan oleh dua hal:

a. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang telah dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.

b. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif.

Disamping itu juga didukung oleh tradisi intelektual yakni tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian, serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai.

2. Kemajuan bidang Iptek yang telah dicapai meliputi:

a. Geometri

b. Trigonometri

c. Musik

d. Geografi

e. Antidote (penawar racun)

f. Ilmu Kedokteran

g. Filsafat

3. Para ilmuwan yang lahir dari peradaban abbasiyah adalah para ilmuwan yang sangat dikenal di berbagai pelosok dunia. Buku-buku karya mereka juga menjadi acuan utama bagi para ilmuwan lainnya, baik di Barat maupun di Timur.


[1] Yusuf Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.123.

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 52.

[3] Ibid, hlm. 53.

[4] M. Masyhur Amin, Dinamika Islam, (Yogyakarta: LKPSM, 1995), hlm. 55.

[5] Mehdi Nakasteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 245.

[6] Yusuf Qardhawi, Ibid, hlm. 120.

[7] Bahruddin Fanani, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 90.

[8] Ibid, hlm. 177

[9] Ibid, hlm. 66