Analogi

analogiABSTRACTION

The Working Paper of Logic

In the knowledge of Logic, there are deductive logical reasoning process and inductive logical reasoning process. Generally, the deductive logical reasoning process is a logical reasoning process from common to specific. The other way, the inductive logical reasoning process is a logical reasoning process from specific to common.

The inductive logical reasoning process could be done by several techniques like generalisation, analogy, causality, hypothesis and theory. In this working paper, I describe one of the techniques, the analogy technique. Analogy is one of the logical reasoning process from a phenomena to other likely phenomena. What would happened in one phenomena will be happened in other phenomena. Therefore, in analogy must contained of main phenomenon to be based of analogy, the prinsipal similarity wich be binding agent, and the phenomena will be analogy.

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Dalam membuat sebuah perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Jika dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda.

Pada proses analogi ini tentunya melibatkan sebuah pengalaman, berangkat dari suatu fenomena yang sudah kita ketahui menuju fenomena serupa dalam hal-hal yang pokok. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kekeliruan besar. Bisa saja karena tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima, meskipun sepintas sulit bagi kita untuk menunjukkan kekeliruannya.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui analogi secara benar agar tidak terjadi kekeliruan dalam membuat analogi. Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan analogi dan beberapa hal yang berhubungan dengan analogi berdasarkan beberapa referensi sehingga diperoleh suatu pemahaman yang utuh.

  1. Rumusan Masalah

Membicarakan proses penalaran analogi tentunya tidaklah cukup jika semua dituangkan dalam makalah ini sehingga kami hanya membatasi penjelasan kami pada:

    1. Pengertian analogi
    2. Macam-macam analogi
    3. Cara menilai analogi
    4. Kesesatan analogi

  1. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:

    1. Memenuhi tugas mata kuliah Logika
    2. Menjelaskan tentang analogi dan ruang lingkupnya
    3. Diharapkan mahasiswa mampu memahami konsep analogi dengan benar
    4. Diharapkan mahasiswa mampu menerapkan proses penalaran analogi dengan benar

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Kajian Teoritis

1. Pengertian Analogi

Analogi dalam bahasa Indonesia adalah kias (Arab: Qasa=mengukur, membandingkan).[1] Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama.[2] Sedangkan dalam kitab Imam Ghozali disebutkan[3]

قياس بيان المعانى المفردة ووجوه دلا لة الاءلفاظ عليها

Berbicara mengenai analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan. Dua hal yang berlainan tersebut dibandingkan. Jika dalam perbandingan itu hanya diperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbullah analogi, yakni persamaan di antara dua hal yang berbeda.

Analogi merupakan salah satu teknik dalam proses penalaran induktif. Sehingga analogi kadang-kadang disebut juga sebagai analogi induktif, yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain. [4] Persamaan hanya terdapat pada anggapan orang saja. Ini dalam kesusastraan disebut sebagai metafora. Oleh karena orang yakin bahwa sebetulnya memang hanya anggapan saja, kerap kali dipakai kata seakan-akan atau seolah-olah. Yang demikian ini bukanlah analogi sebenarnya, hanya seolah-seolah. Bisa dikatakan analogi jika pengertian itu menunjuk perbandingan dalam realitas.[5]

Analogi, pertama kali dipakai oleh para sahabat ketika mereka berselisih pendapat dalam pemilihan Abu bakar sebagai Khalifah.[6] Dalam hukum Islam, analogi disebut sebagai Qiyas. Para sahabat menyetujui penggunaan analogi. Demikian juga para Fuqaha. Masalah analogi telah menyebabkan banyak sekali pertentangan. Pengaturan mengenai penggunaan analogi dalam pembuatan pertimbangan hukum merupakan salah satu sebab yang menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam antar sesama Fuqaha.[7]

2. Macam-macam analogi

a. Analogi Induktif

Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua.[8] Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan.[9] Misalnya, Tim Uber Indonesia mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka tim Thomas Indonesia akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.

b. Analogi Deklaratif

Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.[10] Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.[11] Misalnya, untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.

3. Cara Menilai Analogi

Untuk menguji apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya, dapat kita gunakan analisa berikut:[12]

a. Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Semakin banyak peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar taraf kepercayaannya. Misalnya, suatu ketika saya mengambil mata kuliah Logika dengan dosen bapak Faizin dan ternyata beliau murah hati dalam memberikan nilai kepada mahasiswanya, maka atas dasar analogi, saya bisa menyarankan kepada teman saya, si B, untuk memilih bapak Faizin sebagai dosen mata kuliah logikanya. Analogi saya menjadi lebih kuat setelah B juga mendapat nilai yang memuaskan dari bapak Faizin. Analogi menjadi lebih kuat lagi setelah ternyata C, D, E, dan F juga mengalami hal serupa.

b. Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Semakin banyak aspek yang menjadi dasar analogi, semakin besar taraf kepercayaannya. Misalnya, tentang flashdisk yang baru saja saya beli di sebuah toko A. Bahwa flashdisk yang baru saya beli tentu akan awet dan tidak mudah terserang virus karena flashdisk yang dulu dibeli di toko A juga demikian. Analogi menjadi lebih kuat lagi misalnya diperhitungkan juga harganya, mereknya, dan kapasitasnya.

c. Sifat dari analogi yang kita buat. Semakin rendah taksiran yang dianalogikan, semakin kuat analogi itu. Misalnya, Ahmad yang duduk di kelas unggulan di SLTP Harapan Bangsa dapat menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 60 menit. Kemudian kita menyimpulkan bahwa Olivia, teman satu kelas Ahmad juga akan bisa menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 60 menit, analogi demikian cukup kuat. Analogi ini akan lebih kuat jika kita mengatakan bahwa Olivia akan menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 50 menit, dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa Olivia akan menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 75 menit.

d. Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda, semakin kuat analogi itu. Misalnya, kita menyimpulkan bahwa Fahri adalah mahasiswa yang pandai karena dia berhasil menjadi delegasi untuk dikirim ke Mesir. Analogi ini menjadi lebih kuat jika dipertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para delegasi sebelumnya, A, B, C, D dan E yang mempunyai latar belakang yang berbeda dalam ekonomi, pendidikan SLTA, keluarga, daerah, pekerjaan orang tua, toh kesemuanya adalah mahasiswa yang pandai.

e. Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila masalah yang dianalogikan itu relevan, maka semakin kuat analogi itu. Bila tidak, analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Analogi yang relevan biasanya terdapat pada peristiwa yang mempunyai hubungan kausal. Misalnya, kita tahu bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak rapat untuk menjaga kemungkinan mengembangnya. Bila kena panas, rel tetap pada posisinya. Maka ketika hendak membangun rumah, kita menyuruh tukang untuk memberikan jarak pada tiap sambungan besi pada rangka rumah. Disini kita hanya mendasarkan pada suatu hubungan kausal bahwa karena besi memuai bila kena panas, maka jarak yang dibuat antara dua sambungan besi akan menghindarkan bangunan dari bahaya melengkung.

4. Kesesatan Analogi

Disamping faktor-faktor tersebut di atas, yang bisa disebut faktor-faktor obyektif, juga ada faktor-faktor subyektif, yang mempengaruhi tinggi rendahnya probabilitas analogi. Faktor subyektif itu terletak pada diri manusia yang berpikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat pribadi dan tidak disadari.[13]

Kesalahan dalam membuat analogi bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat menarik konklusi, sedang fakta-fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup mendukung konklusi itu. Kedua, kecerobohan, kesimpulan yang ceroboh terjadi karena mengabaikan adanya faktor-faktor analogi yang penting. Ketiga, prasangka, prasangka membuat orang tidak mengindahkan fakta-fakta yang tidak cocok dengan konklusi. Keempat, memaksa, menjadikan ide agar terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan ide lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan ide yang pertama tadi.

Analogi yang pincang karena hal-hal tersebut di atas amat banyak digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar.[14]

  1. Analisis Kritis

Secara umum, analogi merupakan proses penalaran dengan cara mencari persamaan di antara dua hal yang berbeda. Analogi banyak dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan. Secara tidak sadar, sebenarnya kita sangat sering menggunakan analogi. Tidak sedikit orang yang menggunakan analogi dalam memberikan penjelasan, karena dengan analogi maksud dan tujuan lebih mudah untuk diterima. Begitu juga dalam pembelajaran. Seringkali pendidik menggunakan analogi dalam menyampaikan pelajaran kepada peserta didik.

Sebelum saya menyusun makalah ini, saya kurang menyadari akan penggunaan analogi yang kerap kali digunakan. Kemudian ketika saya menyusun makalah berjudul Analogi ini, saya menjadi lebih tahu mengenai analogi dan macam-macamnya. Semenjak itulah saya mencoba memperhatikan dosen-dosen saya dengan seksama ketika mereka berbicara, menjelaskan materi kuliah, ternyata tidak sedikit dosen yang menggunakan analogi.

Setelah jauh memahami analogi ternyata tidak semua analogi itu bisa diterima atau dipercaya begitu saja. Oleh karena analogi ini banyak dimanfaatkan dalam sebuah penjelasan dan sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar, maka perlu diketahui mana analogi yang sesuai aturan dan mana analogi yang timpang. Analogi yang timpang, dalam beberapa buku disebut sebagai analogi palsu atau kesesatan analogi atau analogi yang pincang. Kekeliruan dalam analogi disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor subyektif maupun faktor obyektif. Faktor subyektif itu terletak pada diri manusia yang berpikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat pribadi dan tidak disadari. Misalnya karena tergesa-gesa, kecerobohan, prasangka, atau terlalu memaksakan dalam membuat analogi. Sedangkan faktor obyektifnya ada beberapa macam. Faktor obyektif ini dapat digunakan sebagai alat ukur probabilitas suatu analogi. Pertama, Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Kedua, Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Ketiga, Sifat dari analogi yang kita buat. Keempat, Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Kelima, Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan.

Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka bisa diketahui apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya atau malah sebaliknya, analogi yang dihasilkan adalah analogi yang pincang.

Akhirnya, perlu diketahui bahwasanya pengetahuan mengenai analogi penting untuk dikaji dalam rangka menghindari kekeliruan dalam membuat analogi. Karena analogi yang salah bisa menyebabkan pemahaman yang salah terhadap fenomena yang dianalagikan. Analogi yang pincang amat banyak digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam membuat sebuah perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Jika dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda. Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Ada dua macam analogi, yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif. Untuk menguji apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya, dapat kita gunakan beberapa analisa berikut. Pertama, Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Kedua, Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Ketiga, Sifat dari analogi yang kita buat. Keempat, Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Kelima, Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan.

Analogi yang pincang amat banyak digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai analogi penting untuk dikaji dalam rangka menghindari kekeliruan dalam membuat analogi. Karena analogi yang salah bisa menyebabkan pemahaman yang salah terhadap fenomena yang dianalagikan.

C. Saran

Demikianlah pembahasan mengenai analogi. Hendaknya para pembaca lebih teliti dalam membuat suatu analogi agar tidak diperoleh analogi yang pincang. Makalah ini tidak lebih hanyalah suatu kumpulan pemikiran dan teori dari berbagai sumber. Kami menyadari malakah ini masih jauh dari sempurna, maka saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga bermanfaat untuk para pembaca.


[1] R. G. Soekadijo, Logika Dasar: Tradisional, simbolik, dan induktif, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 139.

[2] W. Poespoprodjo & T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 179.

[3] Imam Ghozali, Tahafutu al-Falasifah, (Mesir: Darul Ma’arif), hlm. 130.

[4] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 157.

[5] R. Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 40.

[6] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi perbandingan Hukum Islam, (Yogya: PT Tiara Wacana), hlm. 107.

[7] Ibid, hlm. 108.

[8] Mundiri, Op. Cit., hlm. 159.

[9] W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 243.

[10] Mundiri, Op. Cit., hlm. 160.

[11] W. Poespoprodjo, Op. Cit., hlm. 243.

[12] Mundiri, Op. Cit., hlm 161.

[13] R. G. Soekadijo, Op. Cit., hlm. 141.

[14] Mundiri, Op. Cit., hlm. 167.

2 Komentar (+add yours?)

  1. muchlasin
    Mei 06, 2010 @ 23:11:58

    bagus sekali tampilan dan isinya… membantu semua yg cari bandingan buat makalh…

    Balas

  2. Trackback: PENALARAN INDUKTIF « Tithagalz's Blog

Tinggalkan komentar