FITNAH YANG MEMBUNUHKU
Senja mulai merangkak ke peraduannya. Semua anak manusia berhenti sejenak dari segala aktivitas yang telah menguras otak dan tenaganya. Sebagian yang lain menuju ke rumah Tuhan, memenuhi seruan adzan maghrib yang terdengar mengalun lembut bersama hembusan angin yang dingin menusuk tulangku.
Bogor, masih merupakan kota yang asri nan sejuk. Udaranya yang segar membuat siapa saja yang tinggal di kota itu menjadi betah. Dua semester sudah aku lalui dan sekarang aku sedang melangsungkan kuliahku yang masih semester tiga. Dalam setahun kemarin aku hanya pulang dua kali yaitu saat libur hari raya dan libur semester genap. Pertama kali aku pulang, semua terasa menyenangkan. Sambutan hangat dan senyuman tulus dari keluargaku masih bisa aku rasakan. Namun tidak untuk kepulanganku yang kedua, saat liburan semester genap, tepatnya tiga minggu yang lalu.
Sedikit tenang hatiku setelah sujud menghadap-Nya dan melantunkan sejuta permintaan kepada-Nya. Aku duduk seorang diri di salah satu sudut masjid Al-Islam, masjid kampusku, sambil menunggu Ega. Aku dan Ega punya janji untuk menyelesaikan tugas mata kuliah hukum perdana malam ini. Setiap kali menyendiri, kejadian tiga minggu silam itu selalu menghantuiku.
Tiga minggu lalu, aku berlibur di rumah selama satu minggu. Aku pulang kampung karena libur panjang semester genap. Meskipun libur semester genap berlangsung selama satu bulan namun aku hanya pulang selama satu minggu terakhir karena minggu-minggu sebelumnya aku punya banyak kesibukan di Bogor. Selain karena jadi pengurus ospek, aku juga sudah punya kerjaan meski hanya seorang cleaning service di salah satu supermarket di Bogor. Suasana di rumah tak seperti biasanya. Kucari jawabannya lewat sorot mata sayu ibuku, namun tak kutemukan. Pun juga pada ayah dan dua saudara kecilku. Ayah memang selalu begitu, bersikap dingin dan sedikit bicara. Meskipun setiap hari selama liburan aku berinteraksi dengan ayah namun ayah tetap tidak mau terbuka. Aku juga sulit untuk memulai perbincangan mengenai masalah yang menimpa keluargaku. Meski telah berulang kali kucoba, tetap tak bisa.
Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan yang mengendap di kapalaku pun terjawab. Malam itu, dua hari sebelum aku balik ke Bogor, secara tidak sengaja aku mendengar percakapan antara ayah dan ibu. Tengah malam yang sungguh menegangkan. Baru kali ini aku mendengar ayah dan ibu bertengkar. Suara mereka pelan dan tidak meledak-ledak. Namun amarah yang kubaca dari suara ayah begitu meluap-luap, menggebu-gebu dan tak terkendalikan. Diiringi dengan suara isak tangis ibu yang membuat hatiku bagai tersayat sembilu.
“Ini fitnah, Yah…!” ucap ibu entah sedang membela siapa.
“Tidak. Pak Broto adalah teman baikku sejak SMA hingga sekarang. Tidak mungkin dia membohongiku. Waktu SMA, Rena, keponakan pak Broto kan pernah dekat dengan Dimas?” Ayah mengelak pernyataan ibu. Ya Tuhan… ayah menyebut namaku.
Jadi, pusat ketegangan di rumah ini adalah aku. Aku pun semakin merapatkan telingaku di dinding yang menjadi tabir antara kamar orang tuaku dengan kamarku.
“Memang benar. Tapi antara anak kita dengan Rena tidak pernah ada hubungan khusus. Jadi mana mungkin Dimas yang melakukannya? Bisa saja dia dihamili teman kuliahnya.” Ibu membelaku untuk kedua kalinya.
“Terserah Ibu! Untuk saat ini aku masih belum bisa memaafkan Dimas.” Ucap ayah dengan nada tinggi.
Ibu terdiam. Dialog pun terhenti. Yang terdengar tinggallah suara isak tangis ibuku. Aku tak sanggup mendengarnya. Seketika tubuhku menjadi lemas. Semua tulangku enggan lagi menopangku. Aku terjatuh dan tertunduk lemas. Ingin rasanya aku berteriak dan mengatakan aku difitnah, tapi tak bisa.
Dua hari kemudian, aku berpamitan kepada ayah dan ibu hendak kembali ke Bogor. Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut ayah.
“Hati-hati, Nak.” Kata ibu penuh kasih.
“Ya. Do’anya, Bu.” Pintaku tulus.
“Pergilah sana!” perintah ayah yang sedang berdiri di depanku dengan posisi membelakangiku, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Perih. Sungguh perih hatiku mendengardua kata itu. Aku ingin membela diri tapi tak sanggup. Bibirku terkunci, lidahku kelu, tenggorokanku kering, suaraku parau. Aku hanya bisa menjerit dalam hati, ini fitnah!
“Dimas! Udah lama nunggunya? Maaf telat. Sepedaku mogok tadi di jalan.” Suara Ega tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Eh…Oh…nggak kok, baru aja tiga puluh lima menit.” Jawabku ketus.
“Ngambek? Ya wes lah, sorry…sorry…! Oya, jadi nggak yang mau ngerjain tugas? Kalo jadi, ayo kita ngerjain di sebelah sana!” Ucapnya sambil menunjuk ke arah bedug besar di bagian timur masjid. Aku diam…
“Hei! Jangan mematung gitu dong! Ada apa sich?” tanyanya sedikit penasaran. Aku diam…
“O…ow… aku tahu. Kamu masih kepikiran dengan fitnah itu kan?” Ega mencoba menebak pikiranku. Aku mengangguk…
“Tiga Minggu sudah kamu larut dalam masalah ini. Aku nggak tega ngeliatnya. Kadang aku ngerasa capek juga ndengerin keluh kesahmu.” Ucapnya kesal. Aku diam…
“Baiklah, dari pada kita ngerjain tugas, kamunya nggak konsen gitu, mending sekarang kamu ikut aku aja. Tak jamin, kamu akan melupakan masalahmu itu
seketika, gimana?” dia mencoba menawarkan solusi. Aku pun tak mau pikir panjang. Itung-itung waktuku untuk hidup di dunia bebas tinggal beberapa hari. Pasalnya, tujuh hari lagi aku akan pulang ke kampung untuk memenuhi panggilan dari kepolisian. Rena telah berhasil merekayasa sebuah bukti dengan didukung ocehan pengacara bayarannya yang sudah lihai menyusun kata-kata busuknya.
“Oke! Kemana?” tanyaku.
“Udah lah, nggak usah banyak nanya!” ucapnya sambil menarik lenganku. Ega bukanlah teman dekatku. Dia dekat denganku hanya karena kebetulan kita berdua sekelompok dalam tugas mata kuliah hukum perdana. Tugas yang membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya sehingga frekuensi pertemuanku dan Ega menjadi bertambah. Karena itulah, hanya dia yang mengetahui masalahku ini. Hanya dia yang tahu aku sedang difitnah dan menjadi buah bibir warga kampungku.
Aku memang sempat dekat dengan Rena tapi aku tak pernah punya hubungan spesial dengannya, hanya sahabat, nggak lebih. Saat ini, Rena sedang hamil tiga bulan dan tak diketahui siapa ayahnya. Warga pun menuduhku sebagai pelakunya. Ironisnya, Rena menguatkan pernyataan yang nggak bener itu. Pihak kepolisian tak berani menahanku karena sama sekali tak ada bukti yang menguatkan hal itu. Aku tahu dia nekat melakukan ini lantaran aku pernah menolak cintanya. Dulu, tepatnya saat aku dan dia sama-sama masih semester satu, dia pernah mengirim sms ke aku. Dia tulis “Aku tak akan pernah berhenti untuk berusaha memilikimu meskipun aku telah membencimu dengan cintaku. Cara apapun akan aku lakukan untuk membalas sakit hatiku.” Dan sms terakhir yang dikirimnya, tepatnya dua minggu lalu, berisikan “Tunggu saja! Kau akan mendekap di balik sel hingga bayiku lahir. Setelah dia lahir, kemungkinan besar kau akan kembali ke dunia bebasmu. Namun, itu semua sudah cukup untuk membalas sakit hatiku ini. Maafkan aku.” Dia benar-benar telah dibutakan oleh perasaannya. Dia telah mengkhianati persahabatan yang tulus ini. Aku selalu menanggapinya dengan bijak namun tak mampu jua meredamkan amarahnya. Dan sekarang, aku hanya menunggu waktu sampai kelahiran bayinya. Bayinya-lah yang akan menjawab semua ini. Hasil tes DNA tak mungkin berbohong.
40 menit kemudian, di kafe yang hanya dua puluh meter dari kos Ega…
Semua serasa melayang. Masalah-masalahku pun sirna. Bukan karena telah kutemukan sebuah solusi atas masalhku akan tetapi karena aku telah mampu melupakannya. Tak pernah aku merasakan jiwaku setenang ini, pikiranku seringan ini, ragaku seringan kapas yang mampu melayang tinggi. Aku merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini, yang tak punya masalah sedikitpun. Aku tenggelam dalam imajiku. Lalu aku terlelap.
Esok paginya…
“Bangun, Mas!” tubuhku serasa digoyang-goyang oleh seseorang. Kucoba untuk membuka mataku meski terasa berat. Kabur. Aku sulit mengenal siapa gerangan orang yang di depanku. Tak lama kemudian,
“Aku masih ngantuk, Ga.” Ucapku singkat.
“Kita ada jam lho sekarang. Lima belas menit lagi masuk.” Ucapnya mengagetkanku. Aku pun tersentak lalu bangun. Namun… Oh… Kepalaku pusing sekali. Tubuhku berantakan. Ada apa denganku semalam?
“Aku???”
“Kamu semalam nyabu di kafe sebelah” Ucapnya pelan. Ya, pelan. Namun sangat menyayat hatiku, menusuk jantungku, menggelitik telingaku, mengaduk-aduk otakku, melempar tubuhku jauh dari dunia, lalu bagai insan yang termarginalkan. Seketika tubuhku menjadi lemas. Aku tak berdaya. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku berharap telingaku sedang tuli.
“Barusan kamu ngomong apa?” tanyaku dengan tampang blo’on.
“Semalam kamu nyabu.” Ucapnya agak keras. Tak sedikitpun tergambar penyesalan di wajahnya. Dia tak merasa bersalah sama sekali. Begitulah Ega, selalu enjoy every where every time. Namun, memang aku yang salah, aku yang mengambil langkah ini. Dia hanya menjadi mediator bisikan setan yang membujukku dengan berjuta jurusnya. Wajar dia nggak merasa bersalah.
Lalu dia meninggalkanku dan mendekati rak bukunya, tampaknya sedang menyiapkan buku.
“Aku nggak ke kampus dech. Kepalaku pusing. Izinin ya?” pintaku.
“Hah! Nggak salah denger nich? Seorang ‘Dimas’ bolos kuliah? Apa kata dunia?” ejeknya.
“Aku pusing, Ga. Jangan bercanda! Aku serius, aku nggak masuk kuliah.” Kataku dengan nada agak tinggi.
“Oke dech! Beres Bos!” jawabnya sambil mengenakan sepatunya lalu beranjak pergi.
Aku pun kini hanya seorang diri, mematung di kamar Ega, kamar sempit yang hanya berukuran 4×5 meter dengan satu jendela yang berada di salah satu sudutnya. Tepat disamping jendela, ada almari bajunya yang tingginya hanya 1 meter. Di atasnya berjejer buku-buku yang agak berantakan dengan putung rokok berserakan di asbak yang ada di samping deretan buku itu. Di depan almarinya, ada kasur lusuh yang spreinya mungkin hanya dicuci dua bulan sekali. Di situlah aku berbaring, menatap langit-langit kamar yang ditempeli poster sexi Britney Spears dan Avril Lavigne. Namun yang kulihat bukan Britney, bukan pula Avril. Hanya bayang-bayang ayah ibuku yang kini menghantuiku. Apa yang akan mereka katakan dan rasakan seandainya mereka mengetahui aku seperti ini. Aku telah menjadi pengisap narkoba dan mungkin akan menjadi pecandu. Maafkan aku, Ayah, Ibu. Lingkungan telah menguasai nafsuku dan nafsu telah menguasai diriku. Aku lemah. Aku bodoh. Masihkah aku bisa menjadi anak kebanggaan mereka?
comment